BAB I
PENDAHULUAN
Setelah kita
membahas riba dan berbagai permasalahannya, kita akan menganalisis bunga dengan
berbagai implikasinya, baik dari segi ekonomi, produktivitas usaha, dampak
kejiwaan, hubungan antar anggota masyarakat, demikian juga akibatnya terhadap
akumulasi utang negara berkembang.
Ada beberapa
syarat utama untuk dapat memahami bunga dan kaitannya dengan riba, yaitu
menghindarkan diri dari kemalasan ilmiah yang cenderung pragmatis dan
mengatakan bahwa praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan lembaga-lembaga
keuangan ciptaan Yahudi sudah sejalan dengan ruh dan semangat Islam. Tunduk dan
patuh kepada aturan Allah dan Rasulullah dalam segala aspek termasuk dimensi
ekonomi dan perbankan, seperti dalam firman Allah SWT
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى
اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. (al-Ahzab
: 36)
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi Riba
Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu, yaitu akhir kata
ini ditulis dengan alif. Asal arti kata riba adalah ziyadah ‘tambahan’;
adakalanya tambahan itu berasal dari dirinya sendiri, seperti firman Allah swt:
(ihtazzat wa
rabat) “maka hiduplah bumi itu dan suburlah.” (QS Al-Hajj: 5).
Dan, adakalanya lagi tambahan itu
berasal dari luar berupa imbalan, seperti satu dirham ditukar dengan dua
dirham.
2. Ancaman Bagi Pelaku Riba
Islam membenarkan pengembangan uang dengan jalan perdagangan.
Seperti firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman!
Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali
dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan dari antara kamu."
(an-Nisa': 29)
Islam sangat memuji orang yang
berjalan di permukaan bumi untuk berdagang. Firman Allah:
"Sedang yang lain berjalan di
permukaan bumi untuk mencari anugerah Allah." (al-Muzammil: 20)
Akan tetapi Islam menutup pintu bagi siapa yang berusaha akan mengembangkan
uangnya itu dengan jalan riba. Maka diharamkannyalah riba itu sedikit maupun
banyak, dan mencela orang-orang Yahudi yang menjalankan riba padahal mereka
telah dilarangnya.
Di antara ayat-ayat yang paling akhir diturunkan ialah firman Allah dalam surat
al-Baqarah:
"Hai orang-orang yang beriman!
Takutlah kepada Allah, dan tinggalkanlah apa yang tertinggal daripada riba jika
kamu benar-benar beriman. Apabila kamu tidak mau berbuat demikian, maka
terimalah peperangan dari Allah dan Rasul-Nya, dan jika kamu sudah bertobat,
maka bagi kamu adalah pokok-pokok hartamu, kamu tidak boleh berbuat zalim juga
tidak mau dizalimi." (al-Baqarah: 278-279)
Allah telah memproklamirkan perang untuk memberantas riba dan orang-orang yang
meribakan harta serta menerangkan betapa bahayanya dalam masyarakat,
sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi:
"Apabila riba dan zina sudah
merata di suatu daerah, maka mereka telah menghalalkan dirinya untuk mendapat
siksaan Allah." (Riwayat Hakim; dan yang seperti itu diriwayatkan juga
oleh Abu Ya'la dengan sanad yang baik)
Dalam hal ini Islam bukan membuat cara baru dalam agama-agama samawi lainnya.
Dalam agama Yahudi, di Perjanjian Lama terdapat ayat yang berbunyi: "Jikalau kamu memberi pinjam
uang kepada ummatku, yaitu baginya sebagai penagih hutang yang keras dan jangan
ambil bunga daripadanya." (Keluaran 22:25).
Dalam agama Kristen pun terdapat demikian. Misalnya dalam Injil Lukas
dikatakan: "Tetapi hendaklah kamu mengasihi seterumu dan berbuat baik
dan memberi pinjam dengan tiada berharap akan menerima balik, maka berpahala
besarlah kamu..." (Lukas 6: 35).
Sayang sekali tangan-tangan usil telah sampai pada Perjanjian Lama, sehingga
mereka menjadikan kata Saudaramu --yang dalam terjemahan di atas diartikan
Hambaku pent.-- dikhususkan buat orang-orang Yahudi, sebagaimana diperjelas
dalam fasal Ulangan 23:20 "Maka daripada orang lain bangsa boleh kamu
mengambil bunga, tetapi daripada saudaramu tak boleh kamu mengambil dia
..."
Riba di haramkan baik dalam al-quran
maupun hadis.berikut hadis yang melarang dan mengecam praktik riba dengan
kata-kata yang tegas dan jelas. Dalam hadis ini tersebut dikatakan dengan jelas
tentang laknat bagi pelaku riba. Rasulullah Saw melaknat pemakan riba,
pemberinya, penulisnya, kedua saksinya mereka semua sama. Nabi SAW bersabda : “riba
itu sekalipun dapat menyebabkan bertambah banyak, tetapi akibatnya akan
berkurang”
Hadis ini merupakan ancaman bagi orang yang melakukan praktik riba, bahwa riba
memang dapat mendatangkan keuntungan besar bagi pelakunya, tetapi suatu saat
tidak akan mendapatkan berkah dari Allah SWT, sehingga pada akhirnya akan
berkurang. Dalam alquran ditegaskan bahwa Allah SWT akan memusnahkan harta yang
di peroleh dengan cara riba dan menghilangkan keberkahannya.
3. Jenis-jenis Riba
Secara garis besar riba
dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli.
Riba hutang-piutang terbagi menjadi
2 yaitu
- riba qardh dan
- riba jahiliyyah.
Sedangkan riba jual-beli terbagi 2
juga yaitu
- riba fadhl dan
- riba nasi’ah.
Berikut penjelasannya :
a. riba hutang piutang ( yad )
• Riba Qardh
o Suatu manfaat
atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang
(muqtaridh).
• Riba Jahiliyyah
o Hutang dibayar
lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya
pada
waktu yang ditetapkan.
b. riba jual beli ( bai’)
• Riba Fadhl
o Pertukaran
antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan
barang
yang
dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
• Riba Nasi’ah
o Penangguhan
penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan
jenis
barang
ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan,
atau t
ambahan
antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Hukum Riba
Riba, hukumnya berdasar Kitabullah,
sunnah Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam:
“Hai orang-orang yang beriman
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba),
maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279).
“Orang-orang yang makan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS Al-Baqarah: 275).
“Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan shadaqah.” (QS Al-Baqarah: 276).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang
membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau,
“(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh
jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba,
(kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri pada hari pertemuan
dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan baik-baik yang tidak tahu
menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul
Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan
Nasa’i VI: 257).
Dari Jabir ra, ia berkata. “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan
riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.”
(Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim
III: 1219 no: 1598).
Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh
tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi
ibunya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II:
37).
Dari Abdullah bin Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda, “Satu Dirham yang riba
dimakan seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat daripada tiga puluh enam
pelacur.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3375 dan al-Fathur Rabbani XV:
69 no: 230).
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Tak seorang pun
memperbanyak (harta kekayaannya) dari hasil riba, melainkan pasti akibat akhirnya
ia jatuh miskin.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5518 dan Ibnu Majah II:
765 no: 2279).
jenis - jenis Riba
Riba ada dua macam yaitu riba nasiah dan riba fadhl.
Adapun yang dimaksud riba nasiah ialah tambahan yang sudah ditentukan di awal
transaksi, yang diambil oleh si pemberi pinjaman dari orang yang menerima
pinjaman sebagai imbalan dari pelunasan bertempo. Riba model ini diharamkan
oleh Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, dan ijma’ umat Islam.
Sedangkan yang dimaksud riba fadhl adalah tukar menukar barang yang sejenis
dengan ada tambahan, misalnya tukar menukar uang dengan uang, menu makanan
dengan makanan yang disertai dengan adanya tambahan.
Riba model kedua ini diharamkan juga oleh sunnah Nabi saw dan ijma’ kaum Muslimin,
karena ia merupakan pintu menuju riba nasiah. Beberapa Barang yang padanya
Diharamkan Melakukan Riba Riba tidak berlaku, kecuali pada enam jenis barang
yang sudah ditegaskan nash-nash syar’i berikut:
Dari Ubaidah bin Shamir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “(Boleh menjual emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (sejenis gandum)
dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sebanding, sama dan
tunai, tetapi jika berbeda jenis, maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan
tunai.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 949, dan Muslim III: 1211 no: 81 dan
1587).
Dengan demikian, apabila terjadi barter barang yang sejenis dari empat jenis
barang ini, yaitu emas ditukar dengan emas, tamar dengan tamar, maka haram
tambahannya baik secara riba fadhl maupun secara riba nasiah, harus sama baik
dalam hal timbangan maupun takarannya, tanpa memperhatikan kualitasnya bermutu
atau jelek, dan harus diserahterimakan dalam majlis.
Dari Abi Sa’id al-Khudri ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kamu
menjual emas kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang
lain, janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali sama, janganlah kamu
tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, dan janganlah kamu menjual emas dan
perak yang barang-barangnya belum ada dengan kontan.” (Muttafaqun ‘alaih:
Fathul Bari IV: 379 no: 2177, Muslim III: 1208 no: 1584, Nasa’i VII: 278 dan
Tirmidzi II: 355 no: 1259 sema’na).
Dari Umar bin Khattab ra bahwa Rasulullah saw bersabda. “Emas dengan emas
adalah riba kecuali begini dengan begini (satu pihak mengambil barang, sedang
yang lain menyerahkan) bur dengan bur (juga) riba kecuali begini dengan begini,
sya’ir dengan sya’ir riba kecuali begini dengan begini, dan tamar dengan tamar
adalah riba kecuali begini dengan begini.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bahri IV:
347 no: 2134, dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1209 no: 1586,
Tirmidzi II: 357 no: 1261, Nasa’i VII: 273 dan bagi mereka lafadz pertama memakai
adz-dzahabu bil wariq (emas dengan perak) dan Aunul Ma’bud IX: 197 no: 3332
dengan dua model lafadz).
Dari Abu Sa’id ra, ia bertutur: Kami pada masa Rasulullah saw pernah mendapat
rizki berupa tamar jama’, yaitu satu jenis tamar, kemudian kami menukar dua
sha’ tamar dengan satu sha’ tamar. Lalu kasus ini sampai kepada Rasulullah saw
maka Beliau bersabda, “Tidak sah (pertukaran) dua sha’ tamar dengan satu sha’
tamar, tidak sah (pula) dua sha’ biji gandum dengan satu sha’ biji gandum, dan tidak
sah (juga) satu Dirham dengan dua Dirham.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1216
no: 1595 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 311 no: 2080 secara ringkas
dan Nasa’i VII: 272).
Manakala terjadi barter di antara enam jenis barang ini dengan lain jenis,
seperti emas ditukar dengan perak, bur dengan sya’ir, maka boleh ada kelebihan
dengan syarat harus diserahterimakan di majlis:
Berdasar hadits Ubadah tadi:
“…tetapi jika berlainan jenis maka
juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.”
Dalam riwayat Imam Abu Daud dan
lainnya dari Ubadah ra Nabi saw bersabda: “Tidak mengapa menjual emas dengan
perak dan peraknya lebih besar jumlahnya daripada emasnya secara kontan, dan
adapun secara kredit, maka tidak boleh; dan tidak mengapa menjual bur dengan
sya’ir dan sya’irnya lebih banyak daripada burnya secara kontan dan adapun
secara kredit, maka tidak boleh.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 195 dan ‘Aunul
Ma’bud IX: 198 no: 3333).
Apabila salah satu jenis di antara enam jenis ini ditukar dengan barang yang
berlain jenis dan ‘illah ‘sebab’, seperti emas ditukar dengan bur, atau perak
dengan garam, maka boleh ada kelebihan atau secara bertempo, kredit:
Dari Aisyah ra bahwa Nabi saw pernah
membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo, sedangkan Nabi saw
menggadaikan sebuah baju besinya kepada Yahudi itu. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:
1393 dan Fathul Bari IV: 399 no: 2200).
Dalam kitab Subulus Salam III: 38,
al-Amir ash-Sha’ani menyatakan. “Ketahuilah bahwa para ulama’ telah sepakat
atas bolehnya barang ribawi (barang yang bisa ditakar atau ditimbang, edt)
ditukar dengan barang ribawi yang berlainan jenis, baik secara bertempo
meskipun ada kelebihan jumlah atau berbeda beratnya, misalnya emas ditukar
dengan hinthah (gandum), perak dengan gandum, dan lain sebagainya yang termasuk
barang yang bisa ditakar.”
Namun, tidak boleh menjual ruthab
(kurma basah) dengan kurma kering, kecuali para pemilik ‘ariyah, karena mereka
adalah orang-orang yang faqir yang tidak mempunyai pohon kurma, yaitu mereka boleh
membeli kurma basah dari petani kurma, kemudian mereka makan dalam keadaan
masih berada di pohonnya, yang mereka taksir, mereka menukarnya dengan kurma
kering.
Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa
Rasulullah saw melarang muzabanah. Muzabanah ialah menjual buah-buahan dengan
tamar secara takaran, dan menjual anggur dengan kismis secara takaran.
(Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 384 no: 2185, Muslim III: 1171 no: 1542 dan
Nasa’i VII: 266)
Dari Zaid bin Tsabit ra bahwa
Rasulullah saw memberi kelonggaran kepada pemilik ‘ariyyah agar menjualnya
dengan tamar secara taksiran. (Muttafaqun‘alaih: Muslim III: 1169 no: 60 dan
1539 dan lafadz ini baginya dan sema’na dalam Fathul Bari IV: 390 no: 2192,
‘Aunul Ma’bud IX: 216 no: 3346, Nasa’i VII: 267, Tirmidzi II: 383 no: 1218 dan
Ibnu Majah II: 762 no: 2269).
Sesungguhnya Nabi saw melarang
menjual kurma basah dengan tamar hanyalah karena kurma basah kalau kering pasti
menyusut.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra bahwa
Nabi saw pernah ditanya perihal menjual kurma basah dengan tamar. Maka Beliau
(balik) bertanya, “Apakah kurma basah itu menyusut apabila telah kering?” Jawab
para sahabat, “Ya, menyusut.” Maka Beliaupun melarangnya. (Shahih: Irwa-ul
Ghalil no: 1352, ‘Aunul Ma’bud IX: 211 no: 3343, Ibnu Majah II: 761 no: 2264,
Nasa’i VII: 269 dan Tirmidzi II: 348 no: 1243).
Dan, tidak sah jual beli barang
ribawi dengan yang sejenisnya sementara keduanya atau salah satunya mengandung
unsur lain.
Riwayat Fadhalah bin Ubaid yang
menjadi landasan kesimpulan ini dimuat juga dalam Mukhtashar Nailul Authar
hadits no: 2904. Imam Asy-Syaukani, memberi komentar sebagai berikut, “Hadits
ini menunjukkan bahwa tidak boleh menjual emas yang mengandung unsur lainnya
dengan emas murni hingga unsur lain itu dipisahkan agar diketahui ukuran emasnya,
demikian juga perak dan semua jenis barang ribawi lainnya, karena ada kesamaan
illat, yaitu haram menjual satu jenis barang dengan sejenisnya secara
berlebih.”
Dari Fadhalah bin Ubaid ia berkata:
“Pada waktu perang Khaibar aku pernah membeli sebuah kalung seharga dua belas
Dinar sedang dalam perhiasan itu ada emas dan permata, kemudian aku pisahkan,
lalu kudapatkan padanya lebih dari dua belas Dinar, kemudian hal itu
kusampaikan kepada Nabi saw, Maka Beliau bersabda, ‘Kalung itu tidak boleh
dijual hingga dipisahkan.’” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1356, Muslim III: 1213
no: 90 dan 1591, Tirmidzi II: 363 no: 1273, ‘Aunul Ma’bud IX: 202 no: 3336 dan
Nasa’i VII: 279).
Islam bersikap sangat keras dalam
persoalan riba semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi
akhlak, masyarakat maupun perekonomiannya.Kiranya cukup untuk mengetahui
hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsir Qurannya
sebagai berikut:
- Riba adalah suatu perbuatan
mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1
dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham
tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup
dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam
hadis Nabi Muhammad SAW:
- "Bahwa kehormatan harta
manusia, sama dengan kehormatan darahnya."Oleh karena itu mengambil
harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.
- Bergantung kepada riba dapat
menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang
yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik
kontan ataupun berjangka, maka dia akan memudahkan persoalan mencari
penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya
usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu
akan berakibat terputusnya bahan keperluan masyarakat. Satu hal yang tidak
dapat disangkal lagi bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan
oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.(Tidak
diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi
perekonomian).
- Riba akan menyebabkan
terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia dalam bidang
pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan
merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham
juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang
akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan
diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah
perasaan belas-kasih dan kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat diterima,
dipandang dari segi etika).
- Pada umumnya pemberi piutang
adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu.
Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang
kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan.
Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat
Allah. (Ini ditinjau dari segi sosial).
Ini semua dapat diartikan, bahwa dalam riba terdapat unsur pemerasan terhadap
orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par l'hom)
dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap
miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas
pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati
dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api pertentangan di antara
anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis
dan kaum subversi.
BAB III
KESIMPULAN
Riba menurut
etimologi adalah kelebihan atau tambahan, menutur etimologi, riba artinya
kelebihan pembayaran tanpa ganti rugi atau imbalan atau nilai lebih atau
tambahan. Riba berarti nilai tambahan yang diharamkan dalam urusan
pinjam-meminjam dimana salah satu pihak merasa berat dan rugi.
Riba ada 4,
yaitu: Riba Fadli, Riba Nasi’ah, Riba Qardh dan Riba Yad. Hukum riba adalah
haram.
Pendapat
Ulama tentang ‘Illat Riba, Ulama sepakat menetapkan riba fadhl pada
tujuh barang, seperti terdapat para nash, yaitu emas, perak, gandum, syair,
kurma, garam dan anggur kering. Pada benda-benda ini, adanya tambahan pada
pertukaran sejenis adalah diharamkan.
Illat riba
fadzl menurut ulama’ hanafiyah adalah jual beli barang yang ditakar atau
ditimbang serta barang yang sejenis, seperti emas, perak, gandum, syair, kurma,
garam dan anggur kering.
Illat
diharamkanya riba menurut ulama’ Malikiyah pada emas dan perak adalah harga,
sedangkan mengenai illat riba dalam makanan, mereka berbeda pendapat dalam
hubunganya denganriba nasi’ah dan riba fadhl.
Illat
diharamkanya riba nasi’ah dalam makanan adalah sekadar makanan
saja (makanan selain untuk mengobati), baik karena pada makanan tersebut
terdapat unsur penguat (makanan pokok) dan kuat disimpan lama atau tidak ada
kedua unsur tersebut.
Illat
diharamkanya riba fadhl pada makanan adalah makanan tersebut
dipandang sebagai makanan pokok dan kuat disimpan lama.